oleh azhar.coop@gmail.com | Feb 21, 2022 | Ekonomi, Uncategorized
Model pertumbuhan ekonomi konstan banyak dikembangkan di negara berkembang dan termasuk Indonesia. Ternyata model ini tak hanya ciptakan kesenjangan yang tidak menguntungkan rakyat kebanyakan, tapi juga menjadi semacam ketergantungan.
Pemerintahan Orde Baru (Orba) telah mampu meningkatkan legitimasi politiknya dengan bebaskan tekanan ekonomi akibat inflasi hingga 640 persen. Inflasi turun hingga 11 persen dan ekonomi tumbuh 9,4 persen pada lima tahun pertama pemerintahan. Semenjak inilah apapun tensi politiknya, hanya satu pilihanya, ekonomi harus tumbuh hingga kita terjebak pada pertumbuhan ekonomi konstan.
Selain ekonomi dualistik yang tak berubah strukturnya seperti pada masa kolonialisme, ternyata gempita pembangunan yang bertumpu pada pertumbuhan ekonomi konstan hanya sisakan ancaman defisit fiskal untuk menambal sulam masalah kemiskinan. Ditambah krisis ekologi yang terjadi akibat laju pertumbuhan komoditi ekstraktif yang ditopang oleh sektor tertier.
Ekonomi kita terus bertumbuh hampir tanpa jeda hingga rata-rata 5 persen, namun ternyata belum juga mampu ciptakan modalitas finansial pembangunan. Kita hanya mampu ciptakan ekonomi “merembes ke atas” yang setiap saat dapat tergerus oleh gejolak ekonomi dunia yang semakin tidak menentu.
Skala investasi asing semakin besar, utang membengkak, ekonomi tumbuh dengan ketergatungan konsumsi yang tinggi pada importasi pangan dan energi serta harga komoditi ekstraktif yang selalu berkecenderungan turun secara relatif dibandingkan dengan sektor pangan.
Sektor usaha rakyat yang sediakan peluang pekerjaan bagi sebagian besar angkatan kerja justru semakin tergencet oleh kebijakan yang disinsentif seperti pajak yang semakin tinggi, dan biaya modal yang tinggi. Pertumbuhan ekonomi tinggi menjadi berhubungan diametral terhadap realitas sosial ekonomi masyarakat.
Berkah “oil booming” tahun 1980 an era Orba dan juga “commodity booming” era SBY ternyata tak mampu merombak struktur ekonomi secara mendasar. Struktur ekonomi dualistik Booke masih tetap kukuh dan ketimpangan justru menujukkan skala yang semakin konsentratif, akumulatif dan monopolistik.
Dalam satu dasawarsa terakhir, ekonomi tumbuh tumbuh lebih 5 persen, namun ketimpangan dari kelompok elit kaya dan kelompok menengah ke bawah mayoritas justru semakin konsentratif. Ini dapat dilihat dari rasio gini tetap kukuh bertengger di angka 0,40 an. Kue ekonomi yang ternyata 25 persen dikuasai hanya oleh 0,02 jumlah penduduk, dan kepemilikkan asset nasional yang menganga lebar karena separuhnya lebih hanya dikuasai oleh 1 persen elit kaya.
Dalam mashab pertumbuhan ekonomi konstan ini, pemerintahan yang otoritarian ataupun yang dianggap demokratis ternyata hanya terletak pada perbedaan style manajernya. Tergantung bagaimana mengambil hati masyarakat agar tetap percaya bahwa ekonomi tumbuh dan bertumbuh terus menerus.
Konstelasi Global
Ekonomi global yang mengarah pada ekonomi pasar bebas sejak tahun 1980 an butuh jalinan strategis politis antara negara maju sebagai penganut sistem kapitalisme pusat dan negara berkembang seperti Indonesia sebagai penganut sistem kapitalisme pinggiran. Sehingga benar apa yang diteorikan oleh Welernstein, pertumbuhan ekonomi konstan dipertahankan di negara berkembang untuk menjaga kelanggengan dari proses eksploitasi oleh negara maju.
Model ekonomi yang berorientasi pada kapitalisme negara (state-led capitalism) sebelumnya pada akhirnya mengalami perubahan yang semakin drastis ke orientasi kepemimpinan-pasar kapitalistik ( market-led capitalism) agar kompatibel dengan pasar bebas. Kebijakan ekonomi nasional kita pada akhirnya sepenuhnya tunduk pada aturan main “Washington Concensus” dengan trimatranya : liberasisasi, deregulasi dan privatisasi.
Proses konsolidasi politik terjadi dengan berbagai kompromi kebijakan yang tentu harus “ramah” terhadap kepentingan pasar. Posisi negara menjadi sub-ordinat terhadap kepentingan pasar global yang sepenuhnya dikendalikan oleh negara-negara maju.
Meminjam istilah Dawam Rahardjo, negara bergeser dalam posisi sebagai “ penjaga malam” menjadi “petugas kebersihan”. Ini ditandai dengan kebijakan alokasi fiskal yang besar untuk menalangi krisis ekonomi konjungtural, kerusakan alam, kebodohan, kemiskinan, pengangguran sebagai residu dari sistem pertumbuhan ekonomi konstan.
Layanan publik seperti kesehatan, pendidikan juga tak lepas sebagai kapling baru komodifikasi dan komersialisasi. Sementara regulasi perbankkan kita tercatat sebagai terliberal di dunia dengan biarkan investasi asing hingga 99 persen.
Ekonomi rumah tangga yang konsumtif menjadi topangan pertumbuhan ekonomi. Sektor domestik, terutama sektor pangan dan energi kita menjadi tidak terurus dan kita menderita ketergantungan pada sektor ekonomi ekstraktif yang sangat tergantung pada fluktuasi pasar internasional dan sekaligus oligopoli aktor perdagangan nternasional. Sehingga apa yang diperingatkan Bung Hatta tahun 1931 jadilah kenyataan, kita telah jadikan ekonomi yang seharusnya ujung jadi pangkal dan yang pangkal jadi ujung.
Sub-ordinasi
Betapa konstitusi kita menganut sistem demokrasi ekonomi, namun paradigma fundamentalisme pasar dari mashab ekonomi neo-klasik Smithian saat ini telah menjadi modus operandi kebijakan pemerintah hingga saat ini. Paradigma fundamentalis pasar ini akhirnya jadikan posisi negara, masyarakat tersub-ordinasi atau mengabdi pada kepentingan pasar atau kepentingan bisnis. Dalam perkataan lain, apa yang baik untuk para pemilik kapital besar maka baik juga buat negara, baik untuk masyarakat.
Konsekwensinya, kita dapat lihat dalam keseharian praktek politik, hukum, kehidupan sosial, corak militer dan kebudayaan kita seperti telah jatuh dalam sistem yang materialistik, transaksional dan menggerus karakter bangsa hingga menjadi oportunis dan pragmatis berlebih-lebihan. Ini menjadi kontradiktif dengan semangat revolusi mental yang telah didengungkan.
Pada akhirnya, demokrasi politik dan demokrasi ekonomi di satu sisi menjadi berjalan begitu timpang. Demokrasi politik berjalan hingga menjadi ultra demokrasi. Sementara demokrasi ekonomi terseok di belakang dan tertinggal di buritan. Padahal, demokrasi politik yang minus demokrasi ekonomi itu sejatinya adalah suatu rezim anti-demokrasi. Sebabnya, hubungan menjadi tidak setara tapi menjadi kooptatif dan mendekte. Ditambah dengan sisa-sisa feodalisme yang mengeras dalam birokrasi maka muncullah satu sistem patrimonial akut.
Solusi Demokratisasi Ekonomi
Kalau kita ingin terabas jebakkan ketergantungan pada pertumbuhan ekonomi konstan ini maka dimensi pembangunan harus diarahkan ke dalam agenda demokratisasi ekonomi sebagaimana diperintahkan konstitusi. Perlu adanya arah baru perubahan strategi dan kebijakan pembangunan ekonomi yang lebih partisipatorik dan menaruh supremasi manusia lebih tinggi dari yang material. Ini semua demi keamanan ekonomi, keseimbangan ekologikal, keadilan sosial, dan stabilitas politik.
Kita dapat belajar dari sukses Korea Selatan, Taiwan, dan Jepang bagaimana meredistribusi kekayaan dan pendapatan dan memastikan tidak lepas ke tangan yang kaya lagi. Setelah itu pengembangan sumberdaya manusia harus menjadi tumpuan. Mungkin akan terjadi ketegangan karena terjadinya perlambatan ekonomi karena alokasi besar ke sektor pembiayaan sumberdaya manusia seperti ini. Ini harus terjelaskan dengan kepemimpinan yang kokoh dan tegas.
Bonus demografi yang dalam waktu dekat sedang menuju ke puncaknya tahun 2030 harus kita manfaatkan. Anak-anak muda yang akan mengisi hingga 70 persen dari jumlah populasi harus didorong untuk bergerak di sektor industri padat karya. Mereka harus punya pekerjaan kalau tidak akan jadi amunisi kekerasan yang ancam keberlangsungan bangsa. Kebijakan ekonomi substitusi import pangan dan energi perlahan kita gerakkan dengan dorong industrialisasi skala besar dalam sektor ekonomi domestik. Sementara negara maju banyak konsentrasi ke industri jasa yang padat modal kita tampilkan keunggulan lain di sektor industri rumah tangga dan padat kerja. Sehingga keuntungan ekonomi pada akhirnya kita dapatkan dari sini.
Demokrasi harus hadir dalam ruang keseharian rakyat, di tempat kerja, untuk ciptakan demokrasi bagi sebuah negara. Demokrasi tidak hanya bisa diwujudkan melalui voting, bukan dengan sabotase, dan apalagi hanya dengan pajak tinggi. Demokrasi ekonomi itu adalah sebuah perubahan permanen. Perubahan kearah keadilan sosial bagi seluruh rakyat bukan segelintir orang. Demokratisasi ekonomi adalah cara untuk berikan rakyat peluang untuk mengkreasi kekayaan dan pendapatan, bukan hanya keluarkan dari kemiskinan.
Jakarta, 18 Agustus 2017
Suroto, Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES) dan Ketua Koperasi Trisakti Bhakti Pertiwi (KOSAKTI), alumni Unsoed.
oleh azhar.coop@gmail.com | Feb 21, 2022 | Koperasi, Uncategorized
Selama ini orang mengenal koperasi di tanah air semata sebagai entitas bisnis kecil-kecilan. Seperti simpan pinjam dalam skala mikro dan atau usaha warung kelontong. Pada akhirnya persepsi mengenai koperasi yang terbentuk sebagai urusan bisnis kecil-kecilan. Anak-anak muda menganggap bisnis koperasi bukan sebagai hal menarik dan bahkan terkesan kuno. Koperasi sebagai entitas bisnis modern dan sesungguhnya futuristik justru banyak ditinggalkan.
Orang lupa bahwa das sollen-nya koperasi itu sebetulnya sebagai bisnis berskala besar karena fungsinya mengintegrasi usaha-usaha kecil sebagaimana mustinya asas subsidiaritas koperasi diterapkan. Dimana apa-apa yang bisa dikerjakan sendiri dikerjakan individu dan apa-apa yang tidak bisa dikerjakan sendiri-sendiri dikerjakan bersama melalui koperasi.
Konsep koperasi sebagai bussines provider, perusahaan masa depan yang demokratis tidak terlihat dalam praktek dan banyak orang pada akhirnya menyangsikan koperasi dapat menjadi perusahaan konglomerasi dan menjadi pemimpin pasar. Harapan koperasi dapat menjadi soko guru ekonomi menjadi jauh panggang dari api.
Padahal, praktek koperasi berskala besar saat ini sudah terlihat di berbagai negara. Sebut saja misalnya koperasi NTUC Fair Price di Singapura. Koperasi ini telah pangsa pasar hingga 59 persen dari total pasar ritel disana. Kemudian EROSKI yang jadi market leader di Italia untuk bisnis ritel.
JA Zen-noh yang jadi usaha pertanian terbesar di Jepang. Sunkist Co-operative Growers yang merupakan penghasil jus yang mendunia itu. Koperasi Susu Amul sebagai penghasil susu olahan terbesar di India. Koperasi perlistrikan NRECA yang kuasai hampir di seluruh listrik pedesaan di hampir seluruh negara bagian Amerika Serikat, satu koperasi kredit (credit Union) Desjardin di Canada yang assetnya sebanyak 4200 tilyun rupiah melebihi total seluruh asset Badan Usaha Milik Negara (BUMN) kita, dan masih banyak lagi contoh koperasi kelas dunia lainya.
Masalah Kepemilikkan dan Kontrol
Koperasi sebetulnya tidak ada bedanya dengan entitas bisnis lainya. Perbedaan yang mendasar adalah di dalam sistem kepemilikkan dan mekanisme kerjanya. Koperasi kemepilikkannya terbuka bagi setiap orang dan hak suara untuk mengambil kebijakan organisasi dan perusahaan dijamin satu orang satu suara. Koperasi bekerja dalam mekanisme demokrasi.
Dalam praktek paling nyata misalnya adalah praktek demokrasi di tempat kerja dari Koperasi Mondragon yang tercatat sebagai perusahaan terbesar di Basque, Spanyol dengan jumlah karyawan kurang lebih 80.000 orang. Karena koperasi ini dimiliki oleh seluruh pekerjanya dan juga jamin hak suara anggotanya, pengambilan keputusan gaji misalnya, batas rasio gaji manajemen tertinggi sampai dengan karyawan terendahnya dibatasi dalam kebijakan internal sebesar 1 : 6. Kenapa bisa demikian? Karena setiap pekerja adalah pemilik dan pengendali dari perusahaan. Ini satu konsep beyond dari model kepemilikkan buruh perusahaan biasa seperti skema ESOP (employee share ownership plan).
Beberapa koperasi di dunia saat ini bahkan sudah mengembangkan model kepemilikkan koperasi lebih mutakhir dengan model koperasi multipihak. Dimana satu koperasi itu bisa dimiliki oleh para produsennya, pekerjanya dan juga konsumennya sekaligus. Koperasi ini memberikan perwakilan penuh dalam organisasi dengan sistem perwakilan sesuai dengan kelompok kepentingannya. Contoh praktek nyata dari koperasi ini adalah koperasi I COOP di Korea yang dikembangkan oleh para perempuan petani pembaharu. Mereka saat ini bukan saja telah satukan kepentingan petani, pekerja dan konsumen dalam satu lembaga koperasi, tapi mereka telah berhasil perangi mafia pangan dan kembangkan konsep edukasi koperasi untuk berporduksi, bekerja dan berkonsumsi secara etis.
Penting dipahami bahwa koperasi itu bukan hanya semata perusahaan. Benar koperasi gunakan instrumen perusahaan, namun perusahaan bagi koperasi hanya sebagai alatnya untuk capai tujuan dari nilai-nilai keadilan dan demokrasi. Itu kenapa Mahkamah Konstitusi kita musti batalkan Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2012 yang definisikan koperasi sebagai semata badan hukum dan atau badan usaha. Ini adalah definisi yang secara epistemologi memang sudah salah.
Koperasi Kita
Dari sejak jaman Indonesia merdeka, koperasi kita secara agregat tidak menunjukkan perubahan yang signifikan, bahkan mengalami banyak kemunduran secara pradigmatik. Koperasi yang kita harapkan dapat menjadi soko guru ekonomi, ternyata masih jadi pemain pinggiran.
Sampai akhir tahun 2015, kontribusi koperasi kita hanya 1,7 % atau sekitar Rp. 187 trilyun dari Produk Domestik Bruto (PDB) kita yang sebesar Rp. 10.377 Trilyun. Koperasi kita ternyata kontribusinya lebih kecil dibandingkan pada saat awal Indonesia merdeka yang sudah 2,5 persen (Hatta, 1951).
Koperasi kita secara umum, walaupun sudah 69 tahun dideklarasikan sebagai gerakan nasional pada tanggal 12 Juli 1947 di Tasik Malaya, Jawa Barat, dapat dikatakan kurang berhasil kalau tidak mau dibilang gagal dalam mengemban misinya. Jumlah koperasi berbadan hukum kita hingga akhir tahun 2015 berjumlah 209.355. Dimana berarti hampir rata-rata ada 3 koperasi formal di setiap desa yang diklaim beranggotakan lebih dari 36 juta orang.
Kita jadi pemilik koperasi terbanyak di dunia, tapi tidak dalam semangat perkoperasianya. Dalam percaturan bisnis, koperasi terlewat dari lintas bisnis modern dan hanya jadi bagian dari sub-ordinat bisnis jenis lainya. Koperasi berada dalam masalah yang fundamental, baik masalah paradigmatik, regulasi maupun kebijakan.
Padahal di negara lain, koperasi dianggap sebagai titik terang dalam mengatasi masalah ekonomi dunia yang sampai saat ini kita rasakan. Koperasi telah diakui oleh banyak pihak sebagai solusi atas kondisi ekonomi stagnan, penurunan upah riil, meningkatnya ketidaksetaraan, penghematan biaya publik yang berlebih lebihan dan kerusakan sosial dan lingkungan. Lebih dari satu miliar orang di dunia sekarang terlibat sebagai anggota koperasi, dimana produsen, konsumen dan berbagai pihak dalam berbagai kombinasi adalah pemilik dan penerima manfaat utama dari pembagian kue ekonomi. Sejak 2008, bahkan menurut laporan Organisasi Buruh Internasional (ILO), keuangan koperasi dan perusahaan mutual lainya mengungguli bank-bank konvensional dalam hampir setiap ukuran (ILO, 2009).
Koperasi telah menunjukkan bahwa produksi dalam skala besar dan sesuai dengan ilmu pengetahuan modern dapat diwujudkan. Hasilnya, sarana kerja tidak perlu dimonopoli sebagai sarana kelas atas, orang tidak perlu bekerja seperti budak di tempat-tempat kerja. Orang-orang mulai percaya bahwa cara koperasi dapat menjadi solusi bagi sistem kapitalisme yang ekploitatif dan selalu mengancam kehidupan orang-orang kecil dalam krisis konjungtural.
Selama ini, secara paradigmatik cara berkoperasi kita dipahami secara salah. Koperasi dianggap sebagai sebuah bisnis yang tidak ada bedanya dengan usaha lainya, yaitu sebagai asosiasi berbasis modal (capital-based association). Koperasi gagal dipahami sebagai organisasi berbasis orang(people-based association) yang tidak bebas nilai.
Dalam praktek, karena begitu dominannya usaha koperasi di sektor simpan pinjam, maka koperasi itu juga dipahami hanya sebagai usaha yang pantas digerakkan di sektor ini. Koperasi yang secara natural berfungsi untuk penuhi kebutuhan domestik pangan dan enerji justru tidak tampak. Jenis koperasi pekerja (worker co-operative) yang harusnya menjadi inti dari pergerakan koperasi di sektor riel tidak berkembang sama sekali. Apalagi jenis koperasi baru yang berparadigma multipihak (multistakeholder) yang sekarang mulai banyak berkembang pesat di belahan negara lain.
Bisnis koperasi di negeri kita dianggap sebagai bisnis kecil-kecilan dan hidupnya tergantung dari program pembinaan pemerintah. Koperasi bahkan tidak lagi dianggap penting sebagai bagian dari ilmu pengetahuan yang perlu diajarkan. Faktanya koperasi sebagai mata pelajaran di sekolah dan perkuliahan di kampus telah banyak dihapus. Koperasi citranya juga terus dibiarkan dirusak di lapangan oleh praktek rentenir berbaju koperasi. Hingga pada akhirnya, masyarakat sebagianya mengenal koperasi itu sebagai kegiatan yang tak ada bedanya dengan rentenir dan bahkan secara serampangan sering dibilang usaha yang berbau riba. Dalam tata regulasi, koperasi terus disingkirkan dengan berbagai cara. Disubordinasi, didiskriminasi, dan bahkan dieliminasi dari perundang-undangan tentang ekonomi dan kemasyarakatan. Dalam kebijakan, secara sistemik koperasi dikerdilkan dengan dijadikan sebagai tempat untuk menerima belas kasihan dalam program pemerintah maupun perusahaan swasta konvensional.
Dalam undang-undang dan berbagai produk kebijakan, koperasi sengaja disub-ordinasi dengan selalu disebut sebagai bagian dari badan hukum yang selalu musti dibina dan dijadikan sebagai alat penyaluran program pemerintah. Diantara undang-undang yang secara terang-terangan lakukan diskriminasi dan mensub-ordinasi terhadap koperasi misalnya undang-undang (UU) penanaman modal yang hanya bolehkan investasi asing dalam bentuk perseroan, penggunaan badan hukum yang hanya boleh perseroan dalam UU Penanaman Modal untuk Investasi Asing, UU Rumah Sakit, Media, serta BUMN dan lain sebagainya.
Sampai hari ini kita juga masih diatur oleh undang-undang koperasi tersendiri yang kualitasnya jauh dari jatidiri koperasi. Sementara rancangan undang-undang perkoperasian baru paska dibatalkan undang-undang sebelumnya oleh Mahkamah Konstitusi banyak yang masih gambarkan pasal titipan kepentingan kelompok tertentu dan jauh dari kepentingan untuk membangun kehidupan perkoperasian yang lebih baik di masa mendatang.
Kita saat ini butuh langkah reformasi, dan langkah refomasi tersebut diperlukan sarana hukum baru untuk meningkatkan peranan koperasi kini dan di masa mendatang. Konsekwensinya, penomenklaturan Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (Kemenkop dan UKM) musti diganti, koperasi tidak perlu disamakan dengan usaha kecil.
Organisasi koperasi modern pertama di Dunia, Pioner of Rochdale yang dideklarasikan pada tanggal 22 Desember 1844 memang memiliki satu kekhasan organisasi, walaupun seluruhnya dimotori oleh para aktivis buruh, namun mereka dari awal sudah menegaskan diri bahwa organisasi mereka itu keanggotaannya sukarela dan terbuka bagi semua orang tanpa beda-bedakan suku, agama, ras, golongan, maupun status sosial. Ini artinya koperasi sudah merupakan perusahaan go public yang jauh lebih futuris karena salah satu tujuanya ingin tetap jamin adanya demokrasi di tempat kerja.
Koperasi sebagai organisasi ekonomi solidaritas memampukan bagi semua orang untuk tergabung didalamnya secara mudah dan bermanfaat secara ekonomi, sosial maupun budaya. Koperasi sebagai satu sistem bisnis inklusif musti didorong agar semua orang dapat terlibat masuk dalam gerakan ini. Tua dan muda, miskin dan kaya dapat bergabung bersama dan bekerjasama dalam organisasi koperasi karena motif manfaatnya. Untuk masa depan yang berkelanjutan dan dunia yang penuh perdamaian bagi semua.
Tantangannya saat ini, maukah kita secara berani merombak seluruh paradigma yang salah itu? Atau kita biarkan koperasi di tanah air ditelan oleh arus sistem kapitalisme yang semakin tak terkendali saat ini.
Jakarta, 3 Juli 2016
Suroto, Ketua Umum Koperasi Trisakti (KOSAKTI), Ketua Umum AKSES, tinggal di Jakarta