Model pertumbuhan ekonomi konstan banyak dikembangkan di negara berkembang dan termasuk Indonesia. Ternyata model ini tak hanya ciptakan kesenjangan yang tidak menguntungkan rakyat kebanyakan, tapi juga menjadi semacam ketergantungan.
Pemerintahan Orde Baru (Orba) telah mampu meningkatkan legitimasi politiknya dengan bebaskan tekanan ekonomi akibat inflasi hingga 640 persen. Inflasi turun hingga 11 persen dan ekonomi tumbuh 9,4 persen pada lima tahun pertama pemerintahan. Semenjak inilah apapun tensi politiknya, hanya satu pilihanya, ekonomi harus tumbuh hingga kita terjebak pada pertumbuhan ekonomi konstan.
Selain ekonomi dualistik yang tak berubah strukturnya seperti pada masa kolonialisme, ternyata gempita pembangunan yang bertumpu pada pertumbuhan ekonomi konstan hanya sisakan ancaman defisit fiskal untuk menambal sulam masalah kemiskinan. Ditambah krisis ekologi yang terjadi akibat laju pertumbuhan komoditi ekstraktif yang ditopang oleh sektor tertier.
Ekonomi kita terus bertumbuh hampir tanpa jeda hingga rata-rata 5 persen, namun ternyata belum juga mampu ciptakan modalitas finansial pembangunan. Kita hanya mampu ciptakan ekonomi “merembes ke atas” yang setiap saat dapat tergerus oleh gejolak ekonomi dunia yang semakin tidak menentu.
Skala investasi asing semakin besar, utang membengkak, ekonomi tumbuh dengan ketergatungan konsumsi yang tinggi pada importasi pangan dan energi serta harga komoditi ekstraktif yang selalu berkecenderungan turun secara relatif dibandingkan dengan sektor pangan.
Sektor usaha rakyat yang sediakan peluang pekerjaan bagi sebagian besar angkatan kerja justru semakin tergencet oleh kebijakan yang disinsentif seperti pajak yang semakin tinggi, dan biaya modal yang tinggi. Pertumbuhan ekonomi tinggi menjadi berhubungan diametral terhadap realitas sosial ekonomi masyarakat.
Berkah “oil booming” tahun 1980 an era Orba dan juga “commodity booming” era SBY ternyata tak mampu merombak struktur ekonomi secara mendasar. Struktur ekonomi dualistik Booke masih tetap kukuh dan ketimpangan justru menujukkan skala yang semakin konsentratif, akumulatif dan monopolistik.
Dalam satu dasawarsa terakhir, ekonomi tumbuh tumbuh lebih 5 persen, namun ketimpangan dari kelompok elit kaya dan kelompok menengah ke bawah mayoritas justru semakin konsentratif. Ini dapat dilihat dari rasio gini tetap kukuh bertengger di angka 0,40 an. Kue ekonomi yang ternyata 25 persen dikuasai hanya oleh 0,02 jumlah penduduk, dan kepemilikkan asset nasional yang menganga lebar karena separuhnya lebih hanya dikuasai oleh 1 persen elit kaya.
Dalam mashab pertumbuhan ekonomi konstan ini, pemerintahan yang otoritarian ataupun yang dianggap demokratis ternyata hanya terletak pada perbedaan style manajernya. Tergantung bagaimana mengambil hati masyarakat agar tetap percaya bahwa ekonomi tumbuh dan bertumbuh terus menerus.
Konstelasi Global
Ekonomi global yang mengarah pada ekonomi pasar bebas sejak tahun 1980 an butuh jalinan strategis politis antara negara maju sebagai penganut sistem kapitalisme pusat dan negara berkembang seperti Indonesia sebagai penganut sistem kapitalisme pinggiran. Sehingga benar apa yang diteorikan oleh Welernstein, pertumbuhan ekonomi konstan dipertahankan di negara berkembang untuk menjaga kelanggengan dari proses eksploitasi oleh negara maju.
Model ekonomi yang berorientasi pada kapitalisme negara (state-led capitalism) sebelumnya pada akhirnya mengalami perubahan yang semakin drastis ke orientasi kepemimpinan-pasar kapitalistik ( market-led capitalism) agar kompatibel dengan pasar bebas. Kebijakan ekonomi nasional kita pada akhirnya sepenuhnya tunduk pada aturan main “Washington Concensus” dengan trimatranya : liberasisasi, deregulasi dan privatisasi.
Proses konsolidasi politik terjadi dengan berbagai kompromi kebijakan yang tentu harus “ramah” terhadap kepentingan pasar. Posisi negara menjadi sub-ordinat terhadap kepentingan pasar global yang sepenuhnya dikendalikan oleh negara-negara maju.
Meminjam istilah Dawam Rahardjo, negara bergeser dalam posisi sebagai “ penjaga malam” menjadi “petugas kebersihan”. Ini ditandai dengan kebijakan alokasi fiskal yang besar untuk menalangi krisis ekonomi konjungtural, kerusakan alam, kebodohan, kemiskinan, pengangguran sebagai residu dari sistem pertumbuhan ekonomi konstan.
Layanan publik seperti kesehatan, pendidikan juga tak lepas sebagai kapling baru komodifikasi dan komersialisasi. Sementara regulasi perbankkan kita tercatat sebagai terliberal di dunia dengan biarkan investasi asing hingga 99 persen.
Ekonomi rumah tangga yang konsumtif menjadi topangan pertumbuhan ekonomi. Sektor domestik, terutama sektor pangan dan energi kita menjadi tidak terurus dan kita menderita ketergantungan pada sektor ekonomi ekstraktif yang sangat tergantung pada fluktuasi pasar internasional dan sekaligus oligopoli aktor perdagangan nternasional. Sehingga apa yang diperingatkan Bung Hatta tahun 1931 jadilah kenyataan, kita telah jadikan ekonomi yang seharusnya ujung jadi pangkal dan yang pangkal jadi ujung.
Sub-ordinasi
Betapa konstitusi kita menganut sistem demokrasi ekonomi, namun paradigma fundamentalisme pasar dari mashab ekonomi neo-klasik Smithian saat ini telah menjadi modus operandi kebijakan pemerintah hingga saat ini. Paradigma fundamentalis pasar ini akhirnya jadikan posisi negara, masyarakat tersub-ordinasi atau mengabdi pada kepentingan pasar atau kepentingan bisnis. Dalam perkataan lain, apa yang baik untuk para pemilik kapital besar maka baik juga buat negara, baik untuk masyarakat.
Betapa konstitusi kita menganut sistem demokrasi ekonomi, namun paradigma fundamentalisme pasar dari mashab ekonomi neo-klasik Smithian saat ini telah menjadi modus operandi kebijakan pemerintah hingga saat ini. Paradigma fundamentalis pasar ini akhirnya jadikan posisi negara, masyarakat tersub-ordinasi atau mengabdi pada kepentingan pasar atau kepentingan bisnis. Dalam perkataan lain, apa yang baik untuk para pemilik kapital besar maka baik juga buat negara, baik untuk masyarakat.
Konsekwensinya, kita dapat lihat dalam keseharian praktek politik, hukum, kehidupan sosial, corak militer dan kebudayaan kita seperti telah jatuh dalam sistem yang materialistik, transaksional dan menggerus karakter bangsa hingga menjadi oportunis dan pragmatis berlebih-lebihan. Ini menjadi kontradiktif dengan semangat revolusi mental yang telah didengungkan.
Pada akhirnya, demokrasi politik dan demokrasi ekonomi di satu sisi menjadi berjalan begitu timpang. Demokrasi politik berjalan hingga menjadi ultra demokrasi. Sementara demokrasi ekonomi terseok di belakang dan tertinggal di buritan. Padahal, demokrasi politik yang minus demokrasi ekonomi itu sejatinya adalah suatu rezim anti-demokrasi. Sebabnya, hubungan menjadi tidak setara tapi menjadi kooptatif dan mendekte. Ditambah dengan sisa-sisa feodalisme yang mengeras dalam birokrasi maka muncullah satu sistem patrimonial akut.
Solusi Demokratisasi Ekonomi
Kalau kita ingin terabas jebakkan ketergantungan pada pertumbuhan ekonomi konstan ini maka dimensi pembangunan harus diarahkan ke dalam agenda demokratisasi ekonomi sebagaimana diperintahkan konstitusi. Perlu adanya arah baru perubahan strategi dan kebijakan pembangunan ekonomi yang lebih partisipatorik dan menaruh supremasi manusia lebih tinggi dari yang material. Ini semua demi keamanan ekonomi, keseimbangan ekologikal, keadilan sosial, dan stabilitas politik.
Kita dapat belajar dari sukses Korea Selatan, Taiwan, dan Jepang bagaimana meredistribusi kekayaan dan pendapatan dan memastikan tidak lepas ke tangan yang kaya lagi. Setelah itu pengembangan sumberdaya manusia harus menjadi tumpuan. Mungkin akan terjadi ketegangan karena terjadinya perlambatan ekonomi karena alokasi besar ke sektor pembiayaan sumberdaya manusia seperti ini. Ini harus terjelaskan dengan kepemimpinan yang kokoh dan tegas.
Bonus demografi yang dalam waktu dekat sedang menuju ke puncaknya tahun 2030 harus kita manfaatkan. Anak-anak muda yang akan mengisi hingga 70 persen dari jumlah populasi harus didorong untuk bergerak di sektor industri padat karya. Mereka harus punya pekerjaan kalau tidak akan jadi amunisi kekerasan yang ancam keberlangsungan bangsa. Kebijakan ekonomi substitusi import pangan dan energi perlahan kita gerakkan dengan dorong industrialisasi skala besar dalam sektor ekonomi domestik. Sementara negara maju banyak konsentrasi ke industri jasa yang padat modal kita tampilkan keunggulan lain di sektor industri rumah tangga dan padat kerja. Sehingga keuntungan ekonomi pada akhirnya kita dapatkan dari sini.
Demokrasi harus hadir dalam ruang keseharian rakyat, di tempat kerja, untuk ciptakan demokrasi bagi sebuah negara. Demokrasi tidak hanya bisa diwujudkan melalui voting, bukan dengan sabotase, dan apalagi hanya dengan pajak tinggi. Demokrasi ekonomi itu adalah sebuah perubahan permanen. Perubahan kearah keadilan sosial bagi seluruh rakyat bukan segelintir orang. Demokratisasi ekonomi adalah cara untuk berikan rakyat peluang untuk mengkreasi kekayaan dan pendapatan, bukan hanya keluarkan dari kemiskinan.
Jakarta, 18 Agustus 2017
Suroto, Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES) dan Ketua Koperasi Trisakti Bhakti Pertiwi (KOSAKTI), alumni Unsoed.